Benarkah Kita Pengawal Idealisme ?
“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”
kalimat sederhana nan penuh makna. Itulah salah satu ungkapan dari Soe Hok Gie (Gie), di kalangan aktivis kampus Gie adalah simbol dari idealisme pergerakan mahasiswa.
Beragam pengertian idealisme dilingkungan kita, namun dalam kacamata awam berbicara idealisme adalah berbicara mengenai norma dan hukum, berbicara mengenai kondisi keadaan lingkungan yang harus sesuai dengan norma dan hukum yang ada ( ideal ). pelaku idealisme sering disebut dengan idealis. Memandang idealisme dari sudut pandang mahasiswa dewasa ini memang terkadang bikin pusing, bagaimana tidak, satu waktu menyiapkan diri melakukan aksi turun kejalan membela kepentingan rakyat, namun dilain waktu juga menyiapkan aksi strategi menyontek menjelang ujian, menetapkan standar ganda satu ranah,skeptis memang, namun itulah realitas yang ada.
Lantas apakah penting untuk menjadi idealis ?
Tentu saja penting, sebab norma dan hukum yang ada harus dipertahankan dan dijalankan sebab kita telah menyakini dengan mendarah daging bahwa itu akan membawa kepada kebaikan dan kesuksesan kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan. Insan idealis selalu mencoba untuk menyesuaikan keadaan dengan apa yang diyakininya tersebut, sehingga wajar terkadang lubang buaya bisa menjadi ancaman. Sedikit saja mengaplikasikan idealisme maka siap – siap punya banyak musuh di dunia yang serba praktis ini.
Hal ini kontra dengan paham non idealis yang selalu menyesuaikan keadaan lingkungan dengan dirinya, keselamatan, kenyamanan, dan keamanan dirinya seakan – akan menjadikan dirinya sebagai standar “idealisme” itu sendiri, maka tidak heran dimana ada keadaaan nyaman dan aman disitulah mereka berada. Bercorak praktis dan opurtunitis serta realistis merupakan cirinya, tak akan menolak jika keadaan ini tidak membahayakan dirinya, tak akan teriak jika keadaan itu tidak mengancamnya. Berbeda sekali dengan insan idealis yang selalu koar-koar ketika sesuatu terjadi dan berlangsung jauh dari kontrak kehidupan yang diayakininya, entah itu untung atau rugi baginya.
Susah untuk mengecap mahasiswa idealis atau tidak ditengah hedonisme kehidupan kawula muda, sebab kita akan berhadapan dengan realita dan kompleksitas kehidupan dunia kampus saat ini. Kampus bukan lagi hanya tempat sekolah dan mencerdasakan diri, namun dewasa ini telah berkembang menjadi peserta dalam kompetisi menggemukkan badan, berkompetisi menjaring mahasiswa ( sumber dana ) yang sebanyak – banyaknya, berkompetisi menjalin kerjasama dengan banyak pihak dengan berbagi tujuan.
Satu sisi kita menjadi bagian penting dalam pembentukan citra korporasi yang jika salah mencitrakan diri akan menurunkan pamor institusi yang pada akhirnya tentu saja mempengaruhi posisinya dalam kontes penggemukan badan itu tadi, disisi lainnya kita menjadi bagian penting dari budaya reformis yang sudah melekat pada setiap individu berjaket almamater, kita berjuang dengan beragam cara membela kepentingan orang banyak, menjaga mereka dari cengkraman para pengeruk keuntungan yang dipopulerkan dengan istilah “kapitalisme”. Diawali dengan diskusi, pembentukan opini publik hingga demonstrasi kerap menjadi mainstream pergerakan para punggawa idealisme. Namun sayang saat ini ibarat koin mata uang, satu sisi dengan sisi lainnya tidak selalu sejalan beriringan, hanya berdalih menjaga nama baik institusi, menyuarakan kekeliruan dianggap merusak citra yang telah dibangun, apalagi ditengah masa penjaringan sumber dana baru saat ini.
Lantas bagaimana sekarang ? Disisi manakah kita berada ?
Memandang dan mencermati realita yang ada di kampus kita sekarang, akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan bahwa kita tidak berada pada sisi manapun. Apa pasal ? Ya, mencermati para aktivis kita yang terlalu “ bersahabat “ dengan keadaan hingga mengeluhkan lidah untuk bersikap kritis adalah satu dari sekian alasan untuk bimbang dan pikir pikir memberikan label idealisme.
Terlalu sibuk dan aktif menyokong pembangunan citra institusi menjadikan budaya kritis hilang lenyap, kaca mata bela membela seakan – akan telah terganti dengan kaca mata kuda yang hanya fokus kedepan mengikuti ritme instruksi dari sang kusir, tanpa bisa melihat kiri dan kanan.
Siapa menyangka, saat ini tidak ada satupun tulisan media kita ini yang berani ambil posisi dan peranan sebagai pengawal dan penjaga idealisme ? Corak tulisan kita selalu itu dan itu saja, menerbitkan hanya sebagai upaya memenuhi program kerja, asal terbit bos senang. Pernahkah terpikir dalam hati kita mencari dan mengekspose sisi lain dari “ euforia world class “ ini ?. Dari penjuru ke penjuru kampus menemukan masalah dan membicarakannya ?. Komersialisasi disana – sini yang belum terekspose misalnya ? Jika semua kita hanya bisa bilang “ siap bos,laksanakan ? “ maka siapa yang akan mengingatkan bahwa yang akan kita laksanakan bersama itu justru akan menjatuhkan kita kedalam jurang lebar didepan. Jadi harus ada yang berperan sebagai tukang kritik dalam arti positif, karna tanpa mereka segala sesuatu akan selalu nampak benar dimata kita.
So guys, mari menyebar, memandang setiap peristiwa dan keadaan dari beragam sudut pandang, jangan hanya melulu berkumpul dan memandang dari sudut rektorat saja, karena sejatinya kita lebih menguasai medan kita, masih banyak sudut – sudut yang bisa kita gunakan sebagai menara pandang, menemukan & menyuarakan kebenaran tanpa pandang bulu. Selamat datang budaya kritis beserta turunannya ( menelaah, menemukan, menyuarakan, dan selalu belajar ). kalau sudah begitu, ah rasanya tidak salah slogan kita itu, punggawa – penjaga idealisme mahasiswa. Salam persma..!!
Semoga bermanfaat, budayakan silaturahmi dengan meninggalkan komentar anda