think of industrial engineering, it's all about industrial engineering

Engineering Tools

Kuliner Unik Semarang


Aku, Semarang Dan Nasi Kucing

Tahun ini merupakan tahun ke 6 aku berada di kota Semarang. Semarang memang merupakan kota pilihanku untuk melanjutkan pendidikan, tak tanggung – tanggung “ kontrak tinggal “di Kota loenpia ini terus kuperpanjang dengan melanjutkan pendidikan setelah sebelumnya berhasil menggondol ijazah dari salah satu kampus disini. Selain karena keadaannya yang aman tentram, kota ini benar – benar telah membuat aku jatuh hati. Salah satu ikonnya berhasil menyihirku menjadi sang penjelajah malam ( ceilee.. ). Apalagi kalau bukan NASI KUCING ( meaouw..”_” ) . Kenapa nasi kucing..??, ya karena di tempat inilah perkenalanku dengan Semarang dimulai.

Sebagai pendatang baru dari luar jawa, tentu sudah menjadi keharusan buat aku untuk mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan, salah satunya yakni dengan bergaul dengan para tetangga yang kebetulan masih sebaya dengan aku. Masih ingat betul kala itu pelajaran bahasa jawaku harus dimulai dengan kata – kata (maaf) porno, maklumlah temen – temen suka ngerjain orang yang tampak bego dan bodoh kayak aku ini ( pada waktu itu lho *_* ). Ada hikmahnya juga sich mempelajari bahasa dari sisi buruknya terlebih dahulu, aku bisa tau kapan orang disini sedang marah atau tidak.

Tempat tongkrong pertamaku ialah sebuah warung di salah satu pinggiran kompleks tempat tinggalku, persis di tepian jalan utama. Banyak anak muda nongkrong sambil ngobrol dan menikmati aneka hidangan yang tersedia di warung yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Terdapat 4 tempat duduk memanjang yang mengitarinya, dibagian tengah warung ( aku lebih suka menyebutnya gerobak, karena di kota asalku Sumbawa, model warung seperti ini disebut gerobak ) tersedia aneka jajanan dan gorengan disana, untuk minuman beragam pilihan bisa dinikmati disini, tentu saja yang paling populer ialah wedang jahe ( minuman seduhan jahe-jawa), dan yang paling unik sekaligus menggelitik ialah beberapa bungkus nasi yang ukurannya mungil sekali, dalam hatiku waktu itu berkata, “ wah kalo ukurannya segini sich buat nyentil ususku saja tak mampu nampaknya, minimal aku harus makan 5 atau 6 bungkus baru kerasa nendang !! “. Uniknya lagi dibagian ujung gerobak terdapat tungku dengan 2 buah ceret diatasnya, yang akhirnya aku ketahui berisi teh dan seduhan jahe, melihat hal itu pikirku lagi dalam hati, “ ah ngirit betul orang ini, apa tak ada tempat lain untuk merebus air “. Sekilas nampak warung ini seperti warung portable semua serba minimalis disini. Bagi yang tak kebagian tempat di seputaran gerobak, pedagang juga menyediakan tikar buat mereka yang ingin ngobrol sambil lesehan.

Hampir setiap malam aku bersama beberapa temen mengunjungi warung yang biasanya tutup jam 2 pagi ini. Disitulah aku mulai mengenal karakter masyarakat disini dari beragam obrolan mereka sambil privat berbahasa jawa tentunya. Perlahan tapi pasti akhirnya sedikit demi sedikit aku bisa berbahasa jawa, hal ini tentu saja memudahkanku untuk berkomunikasi dengan mereka. Masih ingat waktu itu aku pernah mencoba bercanda dengan pemilik warung, ketika itu aku kebagian jatah “ mbayari” ( mentraktir-jawa ) temen – temen, setelah semuanya selesai makan dan minum,aku bergegas menemui sang empunya warung, oya di sini kita boleh mengambil makan terlebih dahulu, baru kemudian membayar ketika akan beranjak pulang, tentu saja kejujuran diutamakan disini karena si pedagang tak pernah memantau apalagi mencatat makanan dan minuman mana saja yang anda konsumsi.

Setelah mengeluarkan uang saya bertanya kepada pemilik warung, “ pinten pak ? “ ( berapa pak ? ), setelah saya menyebutkan semua makanan dan minuman yang dipesan temen – temen, sang pedagang kemudian menjawab, “ sedoso ewu mawon mas “ ( sepuruh ribu saja mas ). kemudian bermaksud bercanda aku menawar harga tersebut, “ wah mahal banget pak, sepuluh ribu saja ya !! “. Sontak beberapa pembeli disekitar situ dan temen – temen menoleh kearahku sambil tertawa terpingkal - pingkal, lambat laun aku baru tau kalau sedoso eu itu sama dengan sepuluh ribu ( hahaha ). Semenjak itu aku jadi terkenal di warung itu dengan sebuatan mas e luar jawa ( mas yang dari luar jawa ).

Bagaimanapun juga disitulah awal mulaku berkenalan dengan kota ini, banyak hal tentang kota ini aku ketahui dari temapat sederhana ini, semua berkat keramah-tamahan para pengunjung yang dengan senang hati berbagi informasi dan pengalamannya. Sehingga aku cukup bisa mencuri start dari teman – teman sesama mahasiswa luar jawa di kampus, aku lebih cepat bisa berbahasa jawa, lebih cepat dan lebih banyak tahu tentang lokasi – lokasi di kota ini. Hanya dengan bermodalkan 5 bungkus nasi rendang telur dan ikan teri, ditambah gorengan badak jagung, segelas susu jahe hanget, aku bisa “ menguasai” semarang hanya dalam beberapa minggu saja. Terimakasih nasi kucing, tak kusangka meowanganmu telah menemaniku selama 6 tahun.

Didedikasikan buat temen – temen di nasi kucing seputaran Tlogosari Kulon Semarang, khususnya nasi kucing 33 di depan gerbang.

Ditulis dalam rangka menyemarakkan Semarang Bajir Kuliner Blog Fest 09


sumber gambar : http://pensilungu.wordpress.com/2009/06/19/nasi-kucing-cafe/


0 Comments:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar anda pada artikel dan web ini,kami sangat menghargai jika anda menggunakan bahasa yang baik dan santun.....